Selasa, 28 Mei 2013

Cincin Dan Sebuah Eskrim



Aku melihatnya, dia menoleh.
Aku tersenyum, dia membalas.
Aku mengingatnya, Abit dengan senyum jahilnya.
"Aw!" pekik ku. Dia mencubit pipiku.
---
Aku menangkap tatapan itu lagi.
Sepasang mata yang sudah tak asing, yang sejak awal pelajaran bahasa inggris memperhatikanku.
Aku menoleh dengan cepat.

"Tertangkap kau! Berhentilah menatapku." Ucapku ketus pada Abit, teman sebangku-ku.

"Jangan GR!" Dia membalas setengah tertawa, lalu memalingkan wajahnya dariku.

Aku sadar sesadar-sadarnya orang sadar, sejak awal pelajaran dia terus menatapku.
Aku kembali mengalihkan pandangan kepada buku di atas mejaku.
Tidak lama, dia menoleh ke arahku lagi. Langsung saja ku timpuk dia dengan pulpen. Tidak terima, dia membalasku. Aku balas lagi, dia membalas lagi, begitu seterusnya. Sampai Ms. Yuni marah dan mengusir kami berdua dari kelas.

**

Sekarang aku di perpustakaan, langkah abit terdengar jelas mengikutiku.

"Mengaapa setiap hari kau selalu membuatku kesal?" Tanyaku ketus.

Abit mengangkat bahunya dengan sikap tak acuh, "Karna gue sayang sama lo, Re. Mending tiap hari kita berantem kaya tadi deh dari pada kita diem-dieman. Enggak enak di-diemin sama lo. Jangan tanya kenapa, soalnya muka lo lucu kalo lagi kesel." Terdengar kekehan ringan dari bibir Abit. "Gue suka. Manis"

"Apa?" Selancar itu dia menyatakan pernyataanya barusan. Wajahku merah padam.

Belum sempat menjawabnya, sudah ada yang menginterupsi kami.

"Diam kalian berdua. Apa kalian tidak tahu bahwa kalian ada di perpustakaan? Dilarang berisik. Keluar sekarang!" Petugas perpustakan ikut mengusir kami.

**

"Cukup ya, Bit, jangan bikin aku diusir juga dari kantin." Kataku duduk dan menyandarkan punggungku di bangku kantin.

Abit tertawa dan ya, dia mengacuhkanku. "Mau es krim? Nih udah gue beliin." Abit mengulurkan sekotak es krim kecil. "Sesuai sama yang lo suka. Rasa stroberi." Abit duduk disebelahku.

"Aku anggap ini permintaan maaf kamu. Makasih." Aku meraih es krim di tangan Abit. Enggak mungkin kan aku nolak es krim sroberi.

"Terserah. Yang penting lo terima es krimnya."

Aku tersenyum. Aku tidak mungkin tidak mengakuinya, aku nyaman berada di dekat abit. Meskipun hari-hari kami diwarnai dengan pertengkaran, bagian jauh dari diriku mengakui, aku menikmati semuanya. Es krim stroberi ini juga kunikmati, disebelah Abit.

"Uhuk!" Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam mulutku.

"Apa ini?" Aku mengeluarkan benda padat berbentuk lingkaran dari mulutku.

"Itu cincin bodoh!" Abit menoyor dahiku. " Nggak mau tau, lo harus simpenn cincin itu."

"Maksudnya?"

"Kalo es krim di terima, gue juga harus diterima Revisha Anabila." Ujar Abit lembut sambil mengacak-acak rambutku.

 **

Dasar Abit jahil.
Setelah dia mencubit pipiku, aku mengejar dia. Di jam pelajaran bahasa inggris (lagi!).
Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi satu hal yang pasti, aku senang bersamanya. And that feels so great.

Setelah jam pelajaran inggris slesai,aku dan dia meninggalkan ggedung sekolah. Dia menggenggam tanganku. Kuharap ini bukan bayangan semata, yang sewaktu-waktu bisa pudar karena tersadar. Tiba-tiba dia mengajakku untuk mampir ketaman sebentar, ditaman kita duduk di bangku warna merah sambil menikmati eskrim lagi. Tentulah dia tahu aku suka dengan makanan yang satu ini. Diam disampingnya membuatku cukup nyaman. Tanpa ucapan sedikitpun darinya tapi aku merasa kami sudah berbincang banyak hal. Perasaan apakah ini, aku tak pernah mengerti apa yang sedang kurasakan. Aku ingin waktu berhnti saat ini, berhenti saat aku disampingnya.

Semua hal tentang dia hari ini seperti mimpi. Dia adalah seseorang yang akan kautemukan di buku-buku, dalam roman-roman picisan. Bagaimana aku bertemu dengannya, itu juga cerita yang begitu khayali, yang saking berlebihannya, terlalu fantastis untuk dituliskan menjadi sebuah cerita. Aku pernah membaca perkataan seorang penulis besar yang aku tak ingat siapa, kalau kisah fiksi itu harus dibuat senyata mungkin, meski realitas mungkin lebih ajaib daripada fiksi. Tiba tiba ia mengucapkan sesuatu padaku. Ucapan singkat yang keluar dari bibirnya mengatakan yg tak ingin kudengar.

“Re, kayanya bsok kita gabisa ketemu lagi” ucapnya lirih sambil memandang awan diatas.

“Emang kenapa? Ko lo ngmong gitu?”

“Iya, besok gua bakal pindah , gua ngga skola disini lagi”

“Setelah semua yang lo kasih ke gue hari ini, lo mau pergi ninggalin gue gitu aja? Jahat banget sih lo bit. Gue ngga nyangka lo setega ini”

“Terus gue harus gimana? Gue beneran sayang sama lo” ucapnya sambil meyakinkanku.

“Ninggalin orang dengan ucapan Sayang itu ngga bikin dia tenang , Cuma bikin lebih sakit tau ga? Gue bakal terus berharap gini...”

“Tapi gue pasti bakal hubungin lo kok. Gue janji”

“Gausah janji, kalo lo ga tau bisa nepatinnya apa engga”

     Abit terdiam, dia menoleh kearahku. Tiba-tiba dia bersimpuh dihadapanku. Menggenggam tanganku dan menatapku. Tatapan itu, tatapan yang Baru kulihat. Bukan tatapan nakal seperti biasanya, tatapan serius dan berusaha meyakinkanku. Tatapan tulius dari matanya, tentulah aku baru melihat tatapan itu. Seketika ia mencoba meluluhkan hatiku dengan cara dia meyakinkanku.

“Aku janji aku bakal hubungin kamu, aku juga bakal balik lagi kesini. Tepat disini beberapa tahun lagi kita akan ketemu”

“Janji ya bit ? aku bakal selalu nunggu kamu” ucapku dan tanpa kusadari air mata itu menetes melalui pipi, turun ke dagu, jatuh tepat ditangan genggaman abit.

“Hey... re , jangan nangis dong , aku juga jadi ikutan nangis nantinya. Aku gaakan lama kok perginya, aku juga pasti bakal selalu hubungin kamu. Please, believe me re”

"Iya, aku percaya ko sama kamu, bsok kalo udah sampe telpon aku ya”
“pasti. Yaudah kita pulang yuk. Aku juga harus siap siap buat keberangkatan besok”

**

     Esok hari setelah kejadian kemarin, aku tak melihatnya. Aku kira ia tak serius dengan yang ia ucapkan ,nyatanya memang benar ia pergi bersama keluarganya dan sudah tak menetap di indonesia lagi. Kini hanya kabar darinyaa saja yang dapat kutunggu. Seharian aku mnunggu kabar darinya tapi tetap sama tak kunjung ada. Iya benar dia pergi. Ya, pria yang selalu berkelahi denganku sekaligus pria kesayanganku itu telah pergi. Meninggalkan lubang di hati. Lubang yang bagaimana pun caraku menambalnya, selalu kembali berlubang. Bulatan besar di tengah-tengah hati, tak bisa diisi. Bocor.
Mungkin memang hati yang berlubang tidak seharusnya ditambal, seharusnya diisi. Diisi cinta yang padat, yang lama-lama jalin menjalin menjahit pinggiran-pinggiran luka itu dan menutupnya.

     Segala bayangan tentangnya berotasi diotakku malam ini. Tentang abit , abit dan selalu saja abit. Urusan mengenang ini bisa berlangsung berjam-jam jika aku tak menghentikannya sekarang, aku tahu. Dan diam-diam aku mulai menangis. Mungkin menangis itu benar, karena aku sudah lama tidak menangis, sementara aku begitu sesak, dan mungkin menangis bisa membersihkan debu-debu hati. Tapi kenapa harus mengingat itu?
Ketika akhirnya teleponku berbunyi, aku menyeka air mata.
Menatap layar, telepon dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya.

“Hei,” suara yang akrab. Tetapi bukan dia, tentu saja bukan abit.

“Lagi apa?”

“Ngerjain tugas”

“Ga malem mingguan nih?”

“Ga ada yang ngajakin.”

Renyah tawanya menghangatkan hatiku. Kami sama-sama tahu, kami berdua tidak merayakan sabtu malam seperti anak muda lainnya. Berjalan keluar bersama kekasih, nonton film bioskop. Makan bersama kekasih atau tidak bersama orang-orang terdekat.

“Malam mingguan masih belajar?”

“Singa mati.”

“Hah?”

“Dead Lion, dead line, singa mati. Hahaha.” Candaku padanya di telepon genggam .

“yahh maksud banget lo re hahahah gue kira apaan”

“Hahaha lo aja yang ga ngerti maksud gue, upay ihh”

“Bebas deh semerdeka lo aja hehe  yaudah slamat ngerjain tugas deh. Sory ya gue ganggu”
“Iya santai aja lagi”

“yaudah, bye”

“bye”

 Tuutt...tuut...tuutt.... sudah jelas tentunya telepon itu dimatikan. Ya jelas aku sendiri lagi, kesepian ini semakin meruajam jantungku aku seperti orang dungu yang berharap ketidakpastian, berharap sesuatu yang tidak nyata dan palsu. Aku benci berandai-andai tapi malam ini aku sangat ingin berandai-andai abit disampingku, menemaniku seperti biasanya. Canda tawanya, sikap jahilnya membuatku rindu. Aku ingin bertemu dengannya meskipun hanya untuk malam ini. Nyatanya hingga tengah malam tak ada kabar darinya sama sekali. Tak sediktpun pesan masuk melalui ponsel genggamku, apalagi dering telepon. Aku lelah berharap seperti ini. Rasanya aku harus berhenti mengharapkannya, namun bayangannya tak pernah hilang dari anganku. Selalu berotasi dalam pikiranku, layaknya tata surya tak pernah berhenti dalam rotasi galaxy. Kini aku memutuskan untuk berhenti berharap, abit takkan kembali ,abit takkan menghubungiku. Aku sudah muak mendengar namanya dan semua kebohongannya. Bahkan jika aku ahli matematika, aku rasa aku tak dapat menghitung berapa banyak air mataa yang telah terbuang untuk menangisinya selama beberapa hari terakhir ini. Selamat tinggal abit, aku sudah lelah menunggu ketidakpastian ini, aku akan berhenti mengharapkanmu.

Inspirasi : ayu gadis smkn3 tangerang jurusan kecantikan  kulit.
tangerang 29 mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar