“Aku minta maaf.”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku yang salah.”
“Bukan. Tapi aku yang nggak tahu.”
“Mungkin salahku tak memberitahumu.”
“Kamu selalu seperti itu.”
“Iya. Selalu menjadi pihak yang kalah.”
“Bukan maksudku…”
“Tidak. Aku sengaja mencari kesalahanku sebelum menyalahkanmu atau orang lain.”
“Kamu selalu mengalah.”
“Aku tidak mengalah. Aku terkalahkan kenyataan.”
“Apa kamu masih marah padaku?”
“Aku tidak tahu.”
“Kamu tahu.”
“Tidak ada gunanya kau tahu.”
“Aku ingin tahu.”
“Lantas, setelah kau tahu, kau mau apa? Tidak bisa mengubahku jadi pihak yang menang kan?”
“Kamu pernah memenangkannya. Tapi kamu diam dan membuatku ragu.”
“Aku wanita, aku bisa apa?”
“Kamu bisa memulainya kalau kamu mau.”
“Aku tidak mau memulainya. Aku menunggu kamu yang memintanya.”
“Tapi kamu membuatku ragu.”
“Maafkan aku.”
“Maafkan aku.”
“Kamu tidak salah.”
“Aku salah. Aku pernah ragu padamu. Aku salah. Aku tidak peka padamu. Aku salah. Aku
membuatmu sakit hati.”
“…”
“Kamu pasti mendapatkan yang lebih baik dariku.”
“Aku tidak ingin yang lebih baik darimu.”
“Tapi wanita sebaik kamu pantasnya dengan lelaki yang lebih baik dari aku.”
“Bagaimana jika hatiku memilihmu?”
“Aku tidak bisa kamu pilih.”
“Ya. Kita sebaiknya tetap sahabat saja selamanya.”
Gelegar Petir menyambar, awan mulai gelap. Rintik air turun dari langit, semakin deras dan kita sebut itu hujan. Berdua dengan keheningan nyata, menjelma menjadi bisu. Gemericik hujan yang kita dengar, aku bingung menyebut ini apa tetapi yang aku tahu Hujan memberi kita ruang, untuk saling tetap diam. Hujan mengguyur
perasaan kita yang rumit. Hujan meleburkan kenangan persahabatan kita.
antara berakhir dan malu. Antara menyalahkan dan merasa bodoh. kita
tetap selalu dalam diam yang ingin berucap. Tak pernah terucap. Entah
sampai kapan. Mungkin sampai kita lupa.
Dear: Gadis manis dengan Cinta yang sempat kutahan untukmu ..
Bacalah, simaklah , renungkanlah .. maka kau akan tahu siapa tokoh "aku" dalam tulisanku . Tidak selamanya tokooh "Aku" itu "Diriku"
Senin, 03 Juni 2013
Kamis, 30 Mei 2013
Moment in class
Seekor kepik mulai menghitung embun
Yang menempel di jendela
Pagi tak terlalu buta untuk memulai pelajaran
Yang menempel di jendela
Pagi tak terlalu buta untuk memulai pelajaran
Engkau masuk seperti biasa
Di tempat kau berdiri
Di tempat
yang pada akhirnya kau mengajar
Ditempat yang
kami singgahi ketika belajar
Terdiam
disaat kami tak mengerti
Namun tetap
usahamu mengajarkan
Mengajarkan
hingga kami mengerti
Tapi kami
ingat disaat itu
Rumput
masih basah ketika lamunan kami menjumpaimu
Tapi kau menjulurkan lidah pada kami, dan bertanya
Tapi kau menjulurkan lidah pada kami, dan bertanya
“you wants try?” tanyamu.
Kami
terdiam ,hening karna takut mencoba
Namun
setelah itu kami mengerti
Sungguh kami
bahagia.
Sehingga kami
berterima kasih.
Untuk setiap
detik, untuk setiap titik.
Di waktu dan
tempat yang dijejaki kenangan,
Pada
berlembar catatan grammar,
Dan ajaran yangkau
berikan
Terima
kasih.
Untuk
mengajari kami tentang grammar dan sebagainya.
Tentang
jalan menuju puncak...
Kami sungguh
berterima kasih untuk ini.
# Np-A Moment Like This (Kelly Clarkson)
Surat Untuk Mrs Tri (english teacher):')
Assalammualaikum
Maaf jika
kami lancang menukiskan surat semacam ini kepada Mrs. Maaf juga juga tidak
seperti kata-kata para penyair. Tapi kami hanya ingin mengungkapkan apa yang
kami rasakan dalam surat yang kami simpan ini.
Kami bingung sebenarnya harus memberi selamat
apa dalam surat ini. Entah surat ini akan engkau baca saat matahari terbit yang
diberi nama pagi, atau saat matahari telah berada tepat diatas kepala yang diberi
nama siang, atau saat matahari sudah perlahan mulai turun yang diberi nama
sore, atau saat matahari telah sedikit bersembunyi dibalik tumpukan awan yang
diberi nama senja ataukah matahari itu sudah berganti dengan bulan, kami tak tau,
yang jelas selamat karena ternyata Mrs membaca surat ini..
Apa kabar? Tanpa perlu kamu jawab, bila Mrs awali dengan senyuman saat membaca
surat ini, kami tauMrs baik-baik saja. Alhamdulillah suatu anugerah karena
kesehatan selalu menyertai kita semua.
Kami
akan coba ingatkan saat semesta raya berkonsipirasi dengan alam mengenalkan
kita dalam ruang dan waktu yang sama. Didalam kelas kita banyak belajar banyak
hal,tepatnya materi yang Mrs ajarkan. Kita berkomunikasi lewat pandangan mata
dan gerak tubuh serta bibir yang sesekali menyunggingkan sebuah isyarat yang
diberi nama dengan senyuman. Dan cara Mrs mengajar adalah cara unik yang baru
kami ketahui. Bagaimana mungkin seorang guru mengajar tanpa banyak berbicara. Hanya
menanyakan materi , memberi pemahaman,selebihnya latihan menjawab soal yang
diberikan. Cukup rumit namun kami cepat memahami,
Lalu waktu terus berjalan. Banyak menit, banyak jam, banyak hari tapi belum
banyak bulan yang kita lalui lewat kedekatan, kita belajar banyak hal dari Mrs.
Entah hal apa yang sampai kami ingin menuliskan surat ini pun kami tak mengerti
akan hal itu. Seperti digambar mungkin lusa kita hanya dapat melihat
punggungnya pergi menjauh meninggalkan sekolah ini .
Kami
boleh berkata maaf? . Tapi maaf kalau seandainya mungkin sikap kita dalam kelas
membuat Mrs merasa kesal dan lelah. Maaf kalau seandainya kami yang banyak
berbicara ini sempat mengganggu ketenangan hari-hari Mrs saat mengajar kami ,
maaf kalau seandainya tawa canda kami ini pernah mengusik hati Mrs saat
mengajar dan menerangkan kami. Ya mungkin, ntah pernah nyata atau mungkin,
sekedar perasaan kami saja ,tapi tolong maafkan sikap dan kelakuan kami saat
Mrs mengajar kami selama di Bhakti Anindya
Kami
rasa sudah terlalu banyak kata yang terangkai menjadi kalimat dalam surat ini. Kami
rasa Mrs pun sudah jenuh baca surat ini. Kami rasa Mrs ingin tau apa sebenarnya
maksud dari surat ini. Kami dalam surat ini hanya ingin menyampaikan bahwasanya
kami semua pasti akan merindukan Mrs setelah kepindahan Mrs ke kota lain.. Akan
rindu banyak hal yang telah Mrs ajarkan kepada kami. Banyak hal tentang senyum
setipis itu dan bagaimana layaknya bersikap wanita lemah lembut
Mrs,
semangat ya menjalani hari-hari disana. Selama kita masih berada dibawah langit
yang sama, meski raga tak saling berjumpa, semoga kita dipertemukan dalam doa.
Terimakasih untuk segalanya yang telah kau ajarkan kepada kami. Kami akan
buktikan kami dapat membuatmu bangga kelak saat nanti. Amin . jangan lupakan
kami, mampirlah lain waktu di gedung sekolah Bhakti Anindya jika sempat berkunjung
kemari :)
Silent Please
Mrs.Tri
Mahaguru , manusia terpilih tanpa
pamrih,
Terimakasih untuk setiap jawaban atas segala tanda tanya.
Untuk ikhlas
yang tak terbalas,
Untuk lembar-lembar wacana tentang dunia dan pergerakannya
Darimu kami mengenal banyak halUntuk lembar-lembar wacana tentang dunia dan pergerakannya
Mengenal banyak gramar ,
Mengenal banyak wawasan
Diammu membuat kami berfikir
ketika salah
Tanpa banyak ucapan kami mengerti
“silent”
Semacam kata kunci yang membuat
kami diam
“silent”
Terdengung ditelinga kami saat
mendengarnya
Tawa canda kami terhenti seketika
“silent please”
Keadaan riuh dalam kelas menjadi
tenang
Keadaan bising menjadi hening
Perkataan itu Bukan seperti
memarahi
Kami sperti diingatkan..
Terimakasih atas segala jaasamu selama mengajar kami
Terimakasih atas segala jaasamu selama mengajar kami
*kami selalu berharap
kita dapat berjumpa lagi, engkau adalah guru terbaik tanpa banyak ucapan
, sedikit senyum namun melegakan , terimakasih Mrs. telah mengajar kami
selama di Bhakti Anindya :)
Selasa, 28 Mei 2013
Cincin Dan Sebuah Eskrim
Aku melihatnya, dia menoleh.
Aku tersenyum, dia membalas.
Aku mengingatnya, Abit dengan senyum jahilnya.
"Aw!" pekik ku. Dia mencubit pipiku.
---
Aku menangkap tatapan itu lagi.
Sepasang mata yang sudah tak asing, yang sejak awal pelajaran bahasa inggris memperhatikanku.
Aku menoleh dengan cepat.
"Tertangkap kau! Berhentilah menatapku." Ucapku ketus pada Abit, teman sebangku-ku.
"Jangan GR!" Dia membalas setengah tertawa, lalu memalingkan wajahnya dariku.
Aku sadar sesadar-sadarnya orang sadar, sejak awal pelajaran dia terus menatapku.
Aku kembali mengalihkan pandangan kepada buku di atas mejaku.
Tidak lama, dia menoleh ke arahku lagi. Langsung saja ku timpuk dia dengan pulpen. Tidak terima, dia membalasku. Aku balas lagi, dia membalas lagi, begitu seterusnya. Sampai Ms. Yuni marah dan mengusir kami berdua dari kelas.
**
Sekarang aku di perpustakaan, langkah abit terdengar jelas mengikutiku.
"Mengaapa setiap hari kau selalu membuatku kesal?" Tanyaku ketus.
Abit mengangkat bahunya dengan sikap tak acuh, "Karna gue sayang sama lo, Re. Mending tiap hari kita berantem kaya tadi deh dari pada kita diem-dieman. Enggak enak di-diemin sama lo. Jangan tanya kenapa, soalnya muka lo lucu kalo lagi kesel." Terdengar kekehan ringan dari bibir Abit. "Gue suka. Manis"
"Apa?" Selancar itu dia menyatakan pernyataanya barusan. Wajahku merah padam.
Belum sempat menjawabnya, sudah ada yang menginterupsi kami.
"Diam kalian berdua. Apa kalian tidak tahu bahwa kalian ada di perpustakaan? Dilarang berisik. Keluar sekarang!" Petugas perpustakan ikut mengusir kami.
**
"Cukup ya, Bit, jangan bikin aku diusir juga dari kantin." Kataku duduk dan menyandarkan punggungku di bangku kantin.
Abit tertawa dan ya, dia mengacuhkanku. "Mau es krim? Nih udah gue beliin." Abit mengulurkan sekotak es krim kecil. "Sesuai sama yang lo suka. Rasa stroberi." Abit duduk disebelahku.
"Aku anggap ini permintaan maaf kamu. Makasih." Aku meraih es krim di tangan Abit. Enggak mungkin kan aku nolak es krim sroberi.
"Terserah. Yang penting lo terima es krimnya."
Aku tersenyum. Aku tidak mungkin tidak mengakuinya, aku nyaman berada di dekat abit. Meskipun hari-hari kami diwarnai dengan pertengkaran, bagian jauh dari diriku mengakui, aku menikmati semuanya. Es krim stroberi ini juga kunikmati, disebelah Abit.
"Uhuk!" Aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam mulutku.
"Apa ini?" Aku mengeluarkan benda padat berbentuk lingkaran dari mulutku.
"Itu cincin bodoh!" Abit menoyor dahiku. " Nggak mau tau, lo harus simpenn cincin itu."
"Maksudnya?"
"Kalo es krim di terima, gue juga harus diterima Revisha Anabila." Ujar Abit lembut sambil mengacak-acak rambutku.
**
Dasar Abit jahil.
Setelah dia mencubit pipiku, aku mengejar dia. Di jam pelajaran bahasa inggris (lagi!).
Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi satu hal yang pasti, aku senang bersamanya. And that feels so great.
Setelah jam pelajaran inggris slesai,aku dan dia meninggalkan ggedung sekolah. Dia menggenggam tanganku. Kuharap ini bukan bayangan semata, yang sewaktu-waktu bisa pudar karena tersadar. Tiba-tiba dia mengajakku untuk mampir ketaman sebentar, ditaman kita duduk di bangku warna merah sambil menikmati eskrim lagi. Tentulah dia tahu aku suka dengan makanan yang satu ini. Diam disampingnya membuatku cukup nyaman. Tanpa ucapan sedikitpun darinya tapi aku merasa kami sudah berbincang banyak hal. Perasaan apakah ini, aku tak pernah mengerti apa yang sedang kurasakan. Aku ingin waktu berhnti saat ini, berhenti saat aku disampingnya.
Semua hal tentang dia hari ini seperti mimpi. Dia adalah seseorang yang akan kautemukan di buku-buku, dalam roman-roman picisan. Bagaimana aku bertemu dengannya, itu juga cerita yang begitu khayali, yang saking berlebihannya, terlalu fantastis untuk dituliskan menjadi sebuah cerita. Aku pernah membaca perkataan seorang penulis besar yang aku tak ingat siapa, kalau kisah fiksi itu harus dibuat senyata mungkin, meski realitas mungkin lebih ajaib daripada fiksi. Tiba tiba ia mengucapkan sesuatu padaku. Ucapan singkat yang keluar dari bibirnya mengatakan yg tak ingin kudengar.
“Re, kayanya bsok kita gabisa ketemu lagi” ucapnya lirih sambil memandang awan diatas.
“Emang kenapa? Ko lo ngmong gitu?”
“Iya, besok gua bakal pindah , gua ngga skola disini lagi”
“Setelah semua yang lo kasih ke gue hari ini, lo mau pergi ninggalin gue gitu aja? Jahat banget sih lo bit. Gue ngga nyangka lo setega ini”
“Terus gue harus gimana? Gue beneran sayang sama lo” ucapnya sambil meyakinkanku.
“Ninggalin orang dengan ucapan Sayang itu ngga bikin dia tenang , Cuma bikin lebih sakit tau ga? Gue bakal terus berharap gini...”
“Tapi gue pasti bakal hubungin lo kok. Gue janji”
“Gausah janji, kalo lo ga tau bisa nepatinnya apa engga”
Abit terdiam, dia menoleh kearahku. Tiba-tiba dia bersimpuh dihadapanku. Menggenggam tanganku dan menatapku. Tatapan itu, tatapan yang Baru kulihat. Bukan tatapan nakal seperti biasanya, tatapan serius dan berusaha meyakinkanku. Tatapan tulius dari matanya, tentulah aku baru melihat tatapan itu. Seketika ia mencoba meluluhkan hatiku dengan cara dia meyakinkanku.
“Aku janji aku bakal hubungin kamu, aku juga bakal balik lagi kesini. Tepat disini beberapa tahun lagi kita akan ketemu”
“Janji ya bit ? aku bakal selalu nunggu kamu” ucapku dan tanpa kusadari air mata itu menetes melalui pipi, turun ke dagu, jatuh tepat ditangan genggaman abit.
“Hey... re , jangan nangis dong , aku juga jadi ikutan nangis nantinya. Aku gaakan lama kok perginya, aku juga pasti bakal selalu hubungin kamu. Please, believe me re”
"Iya, aku percaya ko sama kamu, bsok kalo udah sampe telpon aku ya”
“pasti. Yaudah kita pulang yuk. Aku juga harus siap siap buat keberangkatan besok”
**
Esok hari setelah kejadian kemarin, aku tak melihatnya. Aku kira ia tak serius dengan yang ia ucapkan ,nyatanya memang benar ia pergi bersama keluarganya dan sudah tak menetap di indonesia lagi. Kini hanya kabar darinyaa saja yang dapat kutunggu. Seharian aku mnunggu kabar darinya tapi tetap sama tak kunjung ada. Iya benar dia pergi. Ya, pria yang selalu berkelahi denganku sekaligus pria kesayanganku itu telah pergi. Meninggalkan lubang di hati. Lubang yang bagaimana pun caraku menambalnya, selalu kembali berlubang. Bulatan besar di tengah-tengah hati, tak bisa diisi. Bocor.
Mungkin memang hati yang berlubang tidak seharusnya ditambal, seharusnya diisi. Diisi cinta yang padat, yang lama-lama jalin menjalin menjahit pinggiran-pinggiran luka itu dan menutupnya.
Segala bayangan tentangnya berotasi diotakku malam ini. Tentang abit , abit dan selalu saja abit. Urusan mengenang ini bisa berlangsung berjam-jam jika aku tak menghentikannya sekarang, aku tahu. Dan diam-diam aku mulai menangis. Mungkin menangis itu benar, karena aku sudah lama tidak menangis, sementara aku begitu sesak, dan mungkin menangis bisa membersihkan debu-debu hati. Tapi kenapa harus mengingat itu?
Ketika akhirnya teleponku berbunyi, aku menyeka air mata.
Menatap layar, telepon dari nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya.
“Hei,” suara yang akrab. Tetapi bukan dia, tentu saja bukan abit.
“Lagi apa?”
“Ngerjain tugas”
“Ga malem mingguan nih?”
“Ga ada yang ngajakin.”
Renyah tawanya menghangatkan hatiku. Kami sama-sama tahu, kami berdua tidak merayakan sabtu malam seperti anak muda lainnya. Berjalan keluar bersama kekasih, nonton film bioskop. Makan bersama kekasih atau tidak bersama orang-orang terdekat.
“Malam mingguan masih belajar?”
“Singa mati.”
“Hah?”
“Dead Lion, dead line, singa mati. Hahaha.” Candaku padanya di telepon genggam .
“yahh maksud banget lo re hahahah gue kira apaan”
“Hahaha lo aja yang ga ngerti maksud gue, upay ihh”
“Bebas deh semerdeka lo aja hehe yaudah slamat ngerjain tugas deh. Sory ya gue ganggu”
“Iya santai aja lagi”
“yaudah, bye”
“bye”
Tuutt...tuut...tuutt.... sudah jelas tentunya telepon itu dimatikan. Ya jelas aku sendiri lagi, kesepian ini semakin meruajam jantungku aku seperti orang dungu yang berharap ketidakpastian, berharap sesuatu yang tidak nyata dan palsu. Aku benci berandai-andai tapi malam ini aku sangat ingin berandai-andai abit disampingku, menemaniku seperti biasanya. Canda tawanya, sikap jahilnya membuatku rindu. Aku ingin bertemu dengannya meskipun hanya untuk malam ini. Nyatanya hingga tengah malam tak ada kabar darinya sama sekali. Tak sediktpun pesan masuk melalui ponsel genggamku, apalagi dering telepon. Aku lelah berharap seperti ini. Rasanya aku harus berhenti mengharapkannya, namun bayangannya tak pernah hilang dari anganku. Selalu berotasi dalam pikiranku, layaknya tata surya tak pernah berhenti dalam rotasi galaxy. Kini aku memutuskan untuk berhenti berharap, abit takkan kembali ,abit takkan menghubungiku. Aku sudah muak mendengar namanya dan semua kebohongannya. Bahkan jika aku ahli matematika, aku rasa aku tak dapat menghitung berapa banyak air mataa yang telah terbuang untuk menangisinya selama beberapa hari terakhir ini. Selamat tinggal abit, aku sudah lelah menunggu ketidakpastian ini, aku akan berhenti mengharapkanmu.
Inspirasi : ayu gadis smkn3 tangerang jurusan kecantikan kulit.
tangerang 29 mei 2013
Senin, 27 Mei 2013
Taaruf - Nikahi Dan Sudahi Pacaran
Akhir bulan maret lalu, Ali mendapat banyak ucapan “selamat ulang tahun”, “happy birthday”
atau “met milad” dari kawan – kawannya di Facebook (FB). Hal itu dikarenakan profilnya disitus
jejaring sosial tersebut menampilkan tanggal lahir sehingga otomatis ketika hari itu tiba, semua kawan – kawan mengetahuinya di Beranda/Home FB mereka.Biasanya, ucapan selamat selalu ditambahi “kata – kata bersayap” berupa do’a maupun harapan pada Ali ditahun mendatang.
Kata – kata bersayap tadi kebanyakan intinya sama yaitu mendo’akan Ali agar panjang umur, sehat selalu, banyak rezeki dan … segera mendapat jodoh !
Harusnya hari ulang tahun jadi hari yang membahagiakan, namun bagi Ali tidak. Ba’da dzuhur ia masih menyendiri di masjid memegang tasbih sambil berdzikir menyebut asma Allah. Setelahnya ia berdo’a seraya bersyukur karena telah diberi umur panjang, badan yang sehat serta rezeki yang cukup. Ia juga memohon ampun pada Allah atas dosa maupun kesalahannya dimasa lalu.
Tiba – tiba ia teringat tulisan teman – temannya yang berharap ia segera mendapat jodoh. Ia pun lalu menambahi do’anya dengan ucapan,”Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Do’a yang diucapkan Ali tersebut merupakan ayat ke 74 dari surat Al – Furqon dalam Al Quran. Ia pernah mendengar dalam ceramah Aa Gym jika ingin segera mendapat jodoh, ucapkanlah ayat tersebut saat ba’da shalat wajib dan tahajud. Sudah berulang kali Ali berdo’a namun hingga usianya kini telah mendekati kepala tiga, belum ada tanda – tanda akan datangnya “bidadari” pendamping hidupnya.
Tiba – tiba dari sebelah Ali terdengar suara orang mengucapkan salam,“assalammu’alaikum”, katanya.
Ali pun segera membalikkan badan dan menolehkan wajahnya ke sebelah kanan sambil menjawab,”wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh”.
Ternyata yang menghampiri Ali adalah sahabatnya yang bernama Rahmat Solihin, namun biasa dipanggil Mamat.
Ia membawa secarik kertas lalu menyerahkannya pada Ali sambil berkata,”Li, ada undangan pengajian bulanan dari Ustadz Soefyan di Pesantrennya di Kota Hujan. Kamu mau ikut, nggak ?”.
Sejenak Ali membaca surat undangan pengajian bulanan tersebut lalu menjawab,”Ustadz Soefyan yang sering mengisi pengajian rutin dimasjid ini mengajak kita ke Pesantrennya ya.wah aku harus ikut nih, lagipula aku pengen banget merasakan suasana pengajian di Pesantren”, jawab Ali penuh semangat.
“kalau kamu mau ikut, nanti sore kita berangkat bersama Ustadz Yayat”, kata Rahmat.
”wah … kalau Ustadz Yayat ikut, aku tambah semangat nih pengen segera pergi ke Kota Hujan. Mat, tolong antar aku kerumah Ustadz Yayat sekarang ya”, kata Ali dengan semangat membara.
“mau ngapain ke rumah Ustadz Yayat sekarang ?”, Tanya Rahmat yang penasaran melihat tingkah Ali .
”aku mau membicarakan sesuatu yang penting bersama beliau … hehe”, kata Ali lagi.
Setelah mengendarai Jupiter MX biru selama sepuluh menit, mereka berdua tiba dirumah Ustadz Yayat. Tuan rumah segera mempersilahkan mereka masuk kedalam rumahnya yang sederhana lalu mereka berbicara enam mata diruang tamu.
Ali menceritakan keinginannya untuk ikut menghadiri pengajian bulanan yang diadakan Ustadz Soefyan di Pesantrennya di Kota Hujan sambil meminta bantuan Ustadz Yayat membantunya mencarikan jodoh disana.
“jadi tujuan utama kamu kesini pengen minta dicarikan jodoh disana, Li ?”,tanya Ustadz Yayat.
“iya Pak Ustadz. Hari ini tak terasa usia saya sudah mendekati kepala tiga dan ingin segera punya istri”, jawab Ali.
Ia pun mulai menceritakan masa lalunya yang suka memendam perasaan cinta jika menyukai lawan jenisnya. Hingga akhirnya wanita yang dicintainya itu pun menikah dengan laki – laki lain. Ali sedih dan sering menyalahkan dirinya yang kurang berani namun disatu sisi yang lain ia pun sadar mungkin sudah takdirnya harus begitu.
Ustadz Yayat pun berkata bahwa ia punya seorang teman yang merupakan pengurus di Pesantren yang diasuh Ustadz Soefyan. Temannya itu memiliki anak perempuan yang sudah siap menikah dan masih menunggu laki – laki yang hendak meminangnya. Nama temannya itu adalah Ustadz Arifin, ia memiliki 8 anak dan anak keenamnya lah yang akan coba dikenalkan pada Ali.
Ali pun merasa beruntung.
Keinginannya dicarikan jodoh bisa terlaksana berkat bantuan Ustadz Yayat.
“Li, walaupun kamu hendak mencari jodoh atau taaruf disana, tetap tujuan utama adalah mengikuti pengajian bulanan Ustadz Soefyan. jangan lupa itu ya”, pinta Ustadz Yayat.
“iya Pak. Ibaratnya sambil menyelam, minum air … pengajiannya diikuti, sekalian cari jodoh.hehe”, jawab Ali sambil tersenyum lebar.
“Dasar, kamu ini. Kalau begini caranya sih bukan menyelam sambil minum air. Tapi lebih tepatnya sambil menyelam, cari mutiara ! hehehe … “, kata Ustadz Yayat sambil tertawa. Ali dan Rahmat pun ikut tertawa mendengar ucapan beliau tersebut.
Ba’da ashar mereka bertiga berangkat ke Kota Hujan dengan mengendarai motor. Karena Ali tidak memiliki motor, ia pun dibonceng Rahmat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, akhirnya mereka sampai di Pesantren yang diasuh Ustadz Soefyan menjelang shalat magrib. Setelah mengikuti shalat berjamaah, mereka bertiga diajak keliling Pesantren oleh Ustadz Arifin. Secara pribadi Ali merasa kagum dengan suasana Pesantren tersebut. Dimana – mana terdengar lantunan ayat suci Al quran yang sedang dibaca para santri dan santriwati.
Ba’da isya mereka mengikuti pengajian bulanan yang diadakan Ustadz Soefyan. Subhanallah jemaahnya banyak sekali, rupanya selain santri dan santriwati yang belajar di Pesantren tersebut, ikut hadir pula masyarakat setempat serta para alumni lulusan Pesantren yang telah menyebar ke berbagai kota.
Selesai pengajian bulanan, mereka bertiga dipersilahkan Ustadz Arifin untuk beristirahat diruang khusus tamu Pesantren.
Sebelum pamit pulang, Ustadz Arifin berkata pada Ustadz Yayat, ”Pak Ustadz, besok sekitar jam 10 pagi ada orang yang akan mengantar kalian ke rumah saya. Tolong datang ya, kita silaturahim sekalian menjalankan proses taaruf saudara Ali”, katanya.
“insya Allah”, jawab Ustadz Yayat.
Keesokan harinya, diruang khusus tamu Pesantren nampak Ali beserta Rahmat dan Ustadz Yayat sedang menikmati kopi panas ditemani roti kukus yang disediakan pengurus Pesantren untuk mereka.
Tak lama kemudian datanglah lelaki seumuran Ali datang menjemput mereka bertiga. Sepanjang perjalanan menuju rumah Ustadz Arifin, Ali tak henti – hentinya berdo’a agar proses taaruf yang akan dilaksanakan hari ini berjalan lancar.
“Yaa Allah, lancarkanlah hari ini … jangan sampai gagal karena aku tidak mau menunggu waktu lebih lama lagi untuk bertemu dengan jodohku … amin”, bisik Ali dalam lubuk hatinya yang terdalam.
Setelah melewati areal persawahan yang hijau kekuningan serta jalan yang berkelak – kelok naik turun, akhirnya mereka sampai di depan rumah Ustadz Arifin yang asri nan rindang. Ketika melihat rumah Ustadz Arifin, Ali jadi teringat kondisi rumah kakek dan neneknya di Kota Intan yang keadaannya tak jauh berbeda dengan rumah tersebut. Rumah bercat hijau dikelilingi pagar bambu berlantaikan keramik putih dan memiliki halaman luas yang ditanami aneka pepohonan pasti membuat penghuni rumah betah mendiaminya.
Sesaat Ali menghirup sejuknya udara pagi itu, lalu tiba – tiba Ustadz Yayat menepuk pundaknya seraya berkata,”sudah siap bertemu calon bidadarinya ?”, Tanya sang Ustadz.
“insya Allah siap Pak”, jawab Ali dengan mantap.
Dag … dig … dug …
Begitu memasuki gerbang rumah Pak Arifin, detak jantung didada Ali makin berdegup kencang. Ia merasakan kegugupan yang luar biasa.
“kamu kenapa, Li ?" tanya Rahmat.
“nggak Mat. Tapi kok aneh ya tubuhku tiba – tiba gemeteran seperti ini”, jawab Ali.
“nyantai saja … kamu kan nggak akan masuk kedalam kandang singa … cuma masuk kerumah camer alias calon mertua … hihihi ,” kata Rahmat sambil tertawa melihat kegugupan Ali.
“wajar kalau gugup, itu biasa. Niatkan saja kedatangan kita kesini untuk ibadah, silaturahim. pasti langkah kakimu akan jadi ringan”, seru Ustadz Yayat sambil memegang pundak Ali.
“iya Pak. Sudah aku putuskan untuk terus maju. Sekarang atau tidak sama sekali !”, jawab Ali dengan serius.
“nah gitu dong, baru itu Ali yang saya kenal”, balas Ustadz Yayat sambil tersenyum.
Dalam hati Ali berbisik,”semoga saja Allah nanti melancarkan lidahku saat berhadapan dengan Pak Ustadz Arifin … amin”.
“Assalammu’alaikum”, seru Ustadz Yayat sambil mengetuk pintu rumah.
“wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh”, balas seorang laki – laki kira – kira usianya 30 tahunan. Ia membukakan pintu dan mempersilahkan semuanya untuk duduk diruang tamu.
“mungkin yang tadi membukakan pintu adalah kakaknya calonmu, Li”, bisik Rahmat.
“iya”, jawab Ali pendek.
Tak lama kemudian datanglah seorang perempuan berjilbab warna biru menyuguhkan teh manis dan kue kering pada mereka bertiga.
Ali menatapnya dan hatinya berbisik lagi,”biasanya kalau taarufan, calonnya suka disuruh membawakan minuman pada tamu. Apa mungkin perempuan tadi, ya ? ah, kayaknya bukan. Kalau dilihat secara kasat mata, usia perempuan tadi mungkin sekitar 28 tahunan. Sedangkan kata Ustadz Yayat usia calonku antara 20 – 22 tahun”.
Saat yang mendebarkan pun dimulai.
Pak Ustadz Arifin datang menemui mereka dan duduk dikursi panjang bersama istrinya.
Dengan ramah beliau mempersilahkan kami memakan makanan ringan yang baru saja disuguhkan.
Ustadz Yayat pun lalu memperkenalkan dua orang yang dibawanya saat itu, yaitu Ali dan sahabatnya, Rahmat.
“nak Ali sudah berapa kali ke Kota Hujan ? kata Ustadz Arifin membuka percakapan.
“sudah dua kali dengan sekarang, Pak”, jawab Ali.
Dulu, Ali pernah ke Kota Hujan mengantar pamannya yang menikah dengan santriwati dari Pesantren yang sama. Namun itu sudah lama sekali, waktu Ali masih duduk dibangku kelas 2 SMP.
Lalu percakapan pun berlanjut dengan saling memberi informasi tentang keadaan pribadi dan kedua keluarga.
Awalnya Ali merasa minder juga mengetahui keluarga Pak Arifin ternyata keluarga besar yang kental agamanya. Bahkan Pak Ustadz Arifin dan istrinya sudah menunaikan ibadah haji tahun lalu. Bandingkan dengan keadaan keluarga Ali yang biasa – biasa saja. Ayahnya hanya buruh bangunan sedangkan ibunya ibu rumah tangga. Jika Pak Ustadz Arifin seorang kyai, ayah Ali jauh dari itu.
Namun kemudian ia berpikir, mungkin ada hikmah dibalik semua ini.
“nak Ali kerja dimana ?”, tanya istri Pak Ustadz Arifin.
“saya kerja di restoran bu”
“Sudah lama ?”
“iya bu, kurang lebih 2,5 tahun”
“wah, berarti nak Ali pintar masak dong ?”
“nggak juga bu, soalnya saya bukan koki … tapi … ah, saya malu menyebutkannya”, jawab Ali sambil memerah wajahnya.
“lantas sebagai apa ?” tanya istri Pak Ustadz Arifin makin penasaran.
“kalau kata teman – teman sih bu, kerjaan saya ini mirip seorang DJ (disc Jockey) di diskotik … tapi … sebenarnya bukan itu, bu”
“astagfirullahaladzim … jadi nak Ali tukang nyetel musik itu ya ?” tanya bu Arifin makin penasaran.
“bukan bu … saya bilang tadi cuma mirip … kalau di restoran itu, saya kerja sebagai tukang cuci piring. Kerjaannya kan mirip DJ, Cuma kalo DJ yang diputarnya piringan hitam musik, sedangkan saya memutar piring kotor yang belepotan bumbu dan sisa makanan … hehe”, kata Ali sambil tertawa kecil dan menundukkan kepalanya.
“oh begitu ya … kira ibu DJ yang suka nyetel musik di diskotik. nak Ali, ada – ada aja nih”, kata ibu sambil senyum melirik Ustadz Arifin.
Pak Ustadz pun berkata,”nak Ali nggak usah malu mengakui kerja seperti itu. kalau kerja keras terus, insya Allah nanti bakal naik jabatan jadi tukang masak di dapur. Bapak punya saudara yang kerja di Kota Kembang. Dulu ia kerja sebagai cleaning service di restoran, sekarang ia jadi koki karena rajin belajar masak pada koki disana kalau lagi ada waktu istirahat. Bapak tidak mempermasalahkan kerja nak Ali sebagai apa di Kota Kembang, asalkan bersumber dari yang halal dan dibelanjakan untuk tujuan halal, bapak ridha nak Ali jadi calon menantu bapak”.
Ali merasa lega mendengar ucapan Ustadz Arifin seperti itu. Di Kota Kembang banyak wanita yang memandang sebelah mata padanya karena ia kerja sebagai tukang cuci piring bergaji kecil.
“insya Allah Li, kalau kamu sudah menikah rezekimu pasti akan berlipat ganda. Bukan begitu Pak Ustadz “, tanya Ustadz Yayat pada Ustadz Arifin.
“Betul sekali. Dengan menikah, rezeki tidak hanya datang melalui kamu sendiri, tapi bisa juga datang dari istri, keluarganya bahkan banyak rezeki yang tak disangka – sangka akan menghampirimu. Hal itu sudah dijamin Allah dalam Al Quran surat An Nuur ayat 32 yang artinya,” Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Ah, kegugupan Ali semakin hilang mendengar Pak Ustadz Arifin berkata seperti itu. Tak jarang seorang pemuda yang siap menikah gagal mewujudkan pernikahannya karena saat taaruf keluarga sang istri materialistis. Mereka ingin memiliki calon menantu yang kaya, kerja mapan dan berkendaraan bagus, minimal punya motor.
“nak Ali sendiri punya kriteria calon istrinya seperti apa ?”, tanya Ustadz Arifin.
Ali terdiam cukup lama, kemudian berkata,”saya tidak punya kriteria calon istri harus seperti apa, namun saya ingin mengikuti sabda Rasulullah Muhammad SAW yang menyarankan kita untuk memilih calon pasangan hidup dari agamanya yang baik”, jawab Ali setengah diplomatis.
“namun dalam hati, saya juga punya keinginan bahwa seorang istri saya nanti haruslah berjilbab panjang, taat pada suaminya dan siap hidup sederhana. Begitu saja Pak”, sambung Ali.
“oh begitu. Nak Ali nggak pingin punya istri yang cantik ?”, tanya Ustadz Arifin hendak menguji Ali
.
“bagi saya cantik akhlak lebih penting daripada sekedar cantik fisik. Di Kota Kembang banyak perempuan yang cantik fisiknya, namun saya kesulitan mencari yang cantik agama dan akhlaknya”, jawab Ali dengan mantap.
“jadi Ali rela jauh – jauh datang kemari demi mencari wanita shalehah ya ? subhanallah. Semoga Allah meridhai niat sucimu,nak”. Kata Ustadz Arifin terharu.
Dikaca jendela, Ali melihat sekumpulan wanita berjilbab berwarna biru yang duduk dibangku panjang. Ada yang sedang memegang bayi, balita dan seorang sedang membaca buku. Ali jadi penasaran, kira – kira calon istrinya yang mana, ya ?
Rupanya tingkah Ali yang sedang menengok jendela terlihat Pak Ustadz Arifin, beliau lalu bertanya,”nak Ali sudah tak sabar ya ingin bertemu anak bapak yang nantinya insya Allah jadi calon istrimu ?”
“iya Pak, kalau boleh saya ingin bertemu dengannya walau sebentar”, jawab Ali sambil tersipu malu.
“hehehe … ia tidak ada diantara perempuan yang duduk diluar itu, mereka itu kakak – kakaknya. Bapak kan punya 8 anak, 6 perempuan dan 2 laki – laki. Calonmu itu anak yang keenam”, katanya.
“lalu kalau calon saya ada dimana,Pak ?”, tanya Ali yang jadi penasaran.
“sebelumnya, memang nak Ali kenapa penasaran sekali ingin melihat calonnya ? takut anak bapak tidak cantik ya ? atau takut ia benjol atau gepeng gitu ya ? hahaha”, katanya sambil tertawa.
Ali tak bisa berkata apa – apa, ia hanya bisa menundukkan kepalanya.
Tiba – tiba istri Pak Ustadz Arifin beranjak dari kursi lalu masuk ke ruang tengah rumah, tak lama kemudian ia datang lagi bersama seorang perempuan muda berjilbab panjang warna putih dan bergamis pink alias merah jambu.
“ini anak bapak yang nantinya jadi calon istri nak Ali, coba lihat sekarang”, kata Pak Ustadz Arifin.
Ali yang tertunduk langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke sebelah kiri. Dilihatnya sesosok perempuan anggun dan berparas ayu. Saat matanya beradu pandang dengan mata perempuan tersebut, keduanya langsung menundukkan kepalanya.
Desir – desir halus menyusup kedalam relung hati Ali, rasanya damai sekali.
“Yaa Allah, begitu indah perempuan ciptaanMu itu”, bisik hatinya.
“bagaimana nak Ali, sudah puas melihat anak bapak ? taarufnya mau berlanjut atau tidak ?”, Tanya Ustadz Arifin membuyarkan ketenangan hatinya.
“iya Pak, lanjutkan saja”, jawab Ali pendek namun tegas.
“Alhamdulillah”, seru hadirin yang ada diruangan tersebut.
Ali pun diberi tahu bahwa calonnya itu bernama Siti Aminah, usianya baru 22 tahun dan November nanti usianya beranjak jadi 23 tahun. Kesehariannya mengajar di Pesantren yang diasuh Ustadz Soefyan.
“nak Ali sudah punya rencana mau menikah kapan ?”, tanya istri Pak Ustadz Arifin.
“saya sih sudah punya rencana ingin menikah tanggal 10 – 10 – 2010”, jawab Ali
“alhamdulillah waktunya sebentar lagi. kalau boleh tahu kenapa ingin tanggal itu ? apa nak Ali ada perhitungan khusus “, tanyanya lagi.
“tidak bu. Saya tidak percaya pada penanggalan orang tua dulu yang menyebutkan ada anggapan hari baik atau hari buruk. saya memilih tanggal itu karena merasa unik saja, angkanya serba 10”, jawab Ali lagi.
“oh begitu. Syukurlah, ibu tidak mau jika nak Ali memiliki kepercayaan pada hari baik atau hari buruk seperti orang tua dulu. namun jika alasannya karena unik tadi, ibu bisa memahaminya.”
Selesai acara ngobrol perkenalan, mereka pun lantas mengajak Ali dan yang lainnya makan siang bersama. Usai makan, mereka berkumpul lagi diruang tamu.
“Bapak dan ibu, boleh saya memberi sesuatu untuk calon saya ?”, tanya Ali pada Pak Ustadz Arifin bersama istrinya.
“mau memberi apa nak Ali ? tak usah merepotkan nak Ali yang sudah jauh – jauh datang kesini”, jawabnya.
“nggak merepotkan Pak. Ini saya mau memberikan sebuah cerpen atau cerita pendek karya saya yang berjudul “Ustadz kupu – kupu” pada calon istri saya dan sebuah VCD yang didalamnya ada foto – foto saya waktu kecil hingga sekarang termasuk foto saya bersama keluarga di Kota Kembang. Hal ini saya lakukan agar kelak ia bisa lebih mengenal saya lewat karya – karya saya, maklum lah Pak saya punya hobi menulis cerpen dan memotret”, kata Ali sambil mnyerahkan sebuah cerpen dan VCD pada Pak Ustadz Arifin.
“saya terima dengan baik sesuatu dari nak Ali ini, mudah – mudahan bermanfaat dan bisa membuat kalian semakin saling mengenal satu sama lain”, katanya.
“syukurlah kalau nak Ali punya hobi positif menulis, jadikan tulisannya sebagai ladang dakwah lewat media massa. Bapak mendukung dakwah lewat tulisan yang sekarang jadi kegemaran nak Ali”, sambung Pak Ustadz lagi.
“alhamdulillah.terima kasih banyak Pak”.
Adzan dzuhur telah berkumandang, mereka pun segera shalat berjamaah di masjid yang tak jauh dari rumah sang Ustadz. Usai shalat, Ali dan rahmat yang diwakili Ustadz Yayat berpamitan untuk pulang. Insya Allah mereka akan kembali lagi dilain hari untuk melanjutkan ke tahap khitbah lalu walimah.
Suasana sangat cerah saat itu, secerah hati Ali.
“Alhamdulillah Yaa Rabb … Engkau telah melancarkan pertemuan hari ini”, do’a yang terlantun dari hati Ali yang tulus.
Diperjalanan pulang menuju Kota Kembang, Ustadz Yayat bertanya Pada Ali,”Bagaimana Li, ? puas dengan acara taarufannya ?”
“alhamdulillah, puas banget Pak. Benar – benar ibarat sambil menyelam, cari mutiara. Alhamdulillah keduanya lancar … pengajian bulanan diikuti, cari jodoh berhasil ! hehehe”, jawab Ali sambil tertawa.
Semoga Kita bisa memetik sesuatu yang bermanfaat dari cerita diatas.
Allahu A’lam
Dikutip : dari kisah tauladan . Referensi setelah membaca buku tersebut.
Berhentilah menuju kemaksiatan, sudahilah hubungan yang mengantar menuju perbuatan zina ,pendekatan itu bukan dengan pacaran saja , jika belum siap sempatkanlah diri untuk menimbang dan memperbanyak ilmu. Agar kelak disuatu hari kita sudah siap lillahi ta'ala .
jika tak bisa taaruflah dan nikahi .
Langganan:
Postingan (Atom)