“Aku minta maaf.”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku yang salah.”
“Bukan. Tapi aku yang nggak tahu.”
“Mungkin salahku tak memberitahumu.”
“Kamu selalu seperti itu.”
“Iya. Selalu menjadi pihak yang kalah.”
“Bukan maksudku…”
“Tidak. Aku sengaja mencari kesalahanku sebelum menyalahkanmu atau orang lain.”
“Kamu selalu mengalah.”
“Aku tidak mengalah. Aku terkalahkan kenyataan.”
“Apa kamu masih marah padaku?”
“Aku tidak tahu.”
“Kamu tahu.”
“Tidak ada gunanya kau tahu.”
“Aku ingin tahu.”
“Lantas, setelah kau tahu, kau mau apa? Tidak bisa mengubahku jadi pihak yang menang kan?”
“Kamu pernah memenangkannya. Tapi kamu diam dan membuatku ragu.”
“Aku wanita, aku bisa apa?”
“Kamu bisa memulainya kalau kamu mau.”
“Aku tidak mau memulainya. Aku menunggu kamu yang memintanya.”
“Tapi kamu membuatku ragu.”
“Maafkan aku.”
“Maafkan aku.”
“Kamu tidak salah.”
“Aku salah. Aku pernah ragu padamu. Aku salah. Aku tidak peka padamu. Aku salah. Aku
membuatmu sakit hati.”
“…”
“Kamu pasti mendapatkan yang lebih baik dariku.”
“Aku tidak ingin yang lebih baik darimu.”
“Tapi wanita sebaik kamu pantasnya dengan lelaki yang lebih baik dari aku.”
“Bagaimana jika hatiku memilihmu?”
“Aku tidak bisa kamu pilih.”
“Ya. Kita sebaiknya tetap sahabat saja selamanya.”
Gelegar Petir menyambar, awan mulai gelap. Rintik air turun dari langit, semakin deras dan kita sebut itu hujan. Berdua dengan keheningan nyata, menjelma menjadi bisu. Gemericik hujan yang kita dengar, aku bingung menyebut ini apa tetapi yang aku tahu Hujan memberi kita ruang, untuk saling tetap diam. Hujan mengguyur
perasaan kita yang rumit. Hujan meleburkan kenangan persahabatan kita.
antara berakhir dan malu. Antara menyalahkan dan merasa bodoh. kita
tetap selalu dalam diam yang ingin berucap. Tak pernah terucap. Entah
sampai kapan. Mungkin sampai kita lupa.
Dear: Gadis manis dengan Cinta yang sempat kutahan untukmu ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar